Fase Adolescence di Era Digital

5 April 2025|Artikel|Bagikan :

Adolescence adalah fase krusial antara masa kanak-kanak dan dewasa. Remaja usia berapa yang memasuki fase ini? Menurut WHO, fase adolesens ini berlangsung pada rentang usia 10 hingga 19 tahun. WHO menyebut masa ini sebagai periode pertumbuhan fisik, kognitif, dan emosional yang paling cepat dalam hidup seseorang. 

Di balik energi dan potensi besar yang dimiliki para remaja, tersimpan kerentanan yang tak kalah besar, terutama dalam hal kesehatan mental dan keselamatan sosial. Saat ini, ada 1,3 miliar remaja di dunia dan jumlahnya terus bertambah. Namun, setiap tahun lebih dari satu juta di antaranya meninggal, sebagian besar akibat kecelakaan, kekerasan, dan bunuh diri.

Fenomena ini menunjukkan bahwa remaja tidak hanya membutuhkan pendidikan dan akses kesehatan, tetapi juga ruang aman untuk tumbuh, baik secara sosial maupun psikologis. Di tengah maraknya teknologi digital, tantangan yang dihadapi remaja hari ini semakin kompleks, termasuk ancaman cyber bullying di media sosial.

Pasalnya, dampak media sosial terhadap kesehatan mental, tekanan dari teman sebaya, dan pencarian identitas diri kini berlangsung di ruang-ruang virtual yang tak selalu ramah. Banyak yang tak siap menghadapi ekspektasi dunia maya yang serba cepat, kompetitif, dan penuh distraksi.

Keresahan ini tercermin dalam film Adolescence, serial kriminal Inggris yang tayang di Netflix sejak Maret 2025. Serial ini menjadi cermin sosial atas realitas remaja masa kini, termasuk bagaimana gawai dan media sosial bisa menjadi pisau bermata dua. 

Serial Netflix Adolescence menggambarkan bagaimana tekanan digital dapat mengubah dinamika hubungan keluarga, pertemanan, hingga keputusan ekstrem yang diambil remaja saat berada di titik rapuh. Di era di mana cyber bullying di media sosial menjadi ancaman nyata, sangat penting memahami apa itu fase adolescence dan cara mengawal perkembangan remaja di era digital.

Pesan Moral dari Serial Netflix Adolescence

Sinopsis serial Adolescence di Netflix menggambarkan wajah gelap dari krisis identitas dan tekanan sosial yang dihadapi remaja masa kini. Kisahnya berpusat pada Jamie Miller, remaja 13 tahun yang dituduh membunuh teman sekelasnya, Katie Leonard. Tuduhan ini mengguncang keluarganya, terutama sang ayah, Eddie Miller, yang berjuang memahami apa yang sebenarnya terjadi. 

Dalam proses pemeriksaan intensif bersama psikolog dan aparat hukum, satu per satu lapisan kehidupan Jamie terkuak. Mulai dari tekanan teman sebaya, pengaruh media sosial, hingga pergulatan batin soal maskulinitas dan seksualitas.

Serial ini ditulis oleh Stephen Graham bersama Jack Thorne dan disutradarai Philip Barantini dengan pendekatan sinematik unik. Pengambilan gambar tanpa jeda alias one continuous shot, memperkuat kesan realisme dan ketegangan psikologis. Adolescence tak hanya menyajikan kisah kriminal remaja, tapi juga menggugat pertanyaan besar: bagaimana kita sebagai masyarakat membentuk dan bahkan kadang menghancurkan masa depan anak-anak kita?

Berikut beberapa pesan moral yang dapat kita renungkan dari serial Adolescence:

1. Remaja Butuh Didengar, Bukan Dihakimi

Serial ini mengingatkan bahwa banyak remaja menyimpan emosi kompleks yang tak pernah tersampaikan. Ketika mereka terpuruk, yang mereka butuhkan bukan hukuman pertama, tapi ruang aman untuk didengar.

2. Dampak Media Sosial Tidak Bisa Diabaikan

Adolescence menyoroti betapa dunia digital bisa memupuk kekerasan tersembunyi, terutama di kalangan anak laki-laki. Tekanan untuk menjadi “pria sejati” di dunia maya bisa berubah menjadi ledakan yang sebenarnya di dunia nyata.

3. Pentingnya Pendidikan Emosional dan Seksualitas Sejak Dini

Serial ini secara tajam menyorot krisis maskulinitas dan miskonsepsi soal seksualitas. Pendidikan yang terbuka dan empatik soal hal ini dapat mencegah kebencian dan kekerasan yang lahir dari ketidaktahuan.

4. Keluarga Memegang Peran Utama

Ketika anak tersesat, keluarga adalah tempat pertama yang bisa menjadi jembatan atau justru jurang. Eddie Miller digambarkan sebagai ayah yang ingin memahami, meski awalnya tak tahu harus mulai dari mana.

5. Kekerasan Bisa Berawal dari Rasa Tak Berdaya

Jamie bukan monster. Ia adalah potret remaja yang kewalahan menghadapi dunia yang terlalu cepat, terlalu bising, dan terlalu keras menuntut. Kekerasan kadang lahir dari keputusasaan, bukan niat sejak awal.

Apa Itu Fase Adolescence? 

Adolescence atau masa remaja, berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “menuju dewasa”. Istilah ini menggambarkan perubahan fisik, kematangan mental, emosional, dan sosial yang kompleks. 

Dulu, remaja dianggap dewasa ketika mencapai masa pubertas dan mampu bereproduksi. Namun dalam pemahaman modern, adolescence adalah fase transisi multidimensi yang membutuhkan perhatian serius dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. 

WHO mendefinisikan adolescence sebagai rentang usia 10 hingga 19 tahun. Menurut Peraturan Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja didefinisikan sebagai penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun, meskipun lembaga lain seperti BKKBN memperluas batas usia ini hingga 24 tahun bagi yang belum menikah.

Fase adolescence bukan hanya soal pertumbuhan, tetapi tentang bagaimana seorang individu mulai membentuk identitas diri dan hubungannya dengan dunia. Jean Piaget menyebut fase ini sebagai masa ketika seseorang mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Mereka tidak hanya belajar memahami nilai sosial, tetapi juga mulai berani mengambil keputusan sendiri. 

Secara umum, fase adolescence terbagi menjadi tiga tahap:

1. Remaja Awal (10–13 tahun)

Tahap pertama ini adalah masa pubertas, ketika perubahan fisik mulai tampak, seperti tumbuhnya rambut tubuh, menstruasi pada perempuan, dan pembesaran testis pada laki-laki. Pada tahap ini, remaja mulai mempertanyakan identitas, lebih sensitif terhadap penilaian teman, dan menunjukkan keinginan untuk mandiri.

2. Remaja Pertengahan (14–17 tahun) 

Fase berikutnya ditandai dengan pertumbuhan fisik lanjutan, eksplorasi hubungan romantis, dan kemampuan berpikir abstrak, meski sering masih dikendalikan emosi. Di usia ini, pengaruh teman sebaya sangat kuat. Tekanan sosial, pencarian identitas seksual, dan kebutuhan akan pengakuan sering kali menjadi sumber stres jika tidak diiringi dengan dukungan yang tepat.

3. Remaja Akhir (18–24 tahun) 

Selanjutnya, remaja mulai menunjukkan kematangan dalam berpikir dan bersikap. Mereka lebih fokus pada tujuan hidup, mulai stabil dalam relasi, dan mampu mengambil keputusan jangka panjang. Namun tantangan tetap ada, mulai dari tekanan akademik hingga ekspektasi sosial. 

Karakteristik Remaja di Era Digital

Memahami karakteristik remaja di era digital bukan hanya penting bagi orang tua atau guru, tapi bagi siapa pun yang ingin menjalin komunikasi sehat dengan remaja. Selain perubahan secara fisik dan emosional, berikut karakteristik remaja di era digital yang perlu kita pahami:

1. Kritis dan Haus Informasi

Remaja masa kini tumbuh di tengah arus informasi yang deras. Mereka terbiasa mencari jawaban sendiri lewat internet, membandingkan berbagai sumber, dan mempertanyakan hal-hal yang dulu dianggap mutlak. Meski kemampuan berpikir kritis mulai berkembang, mereka tetap butuh pendampingan agar bisa membedakan informasi valid dan hoaks.

2. Sangat Terhubung, Tapi Rentan Terisolasi

Dengan smartphone di tangan, remaja bisa berkomunikasi kapan saja, di mana saja. Namun paradoksnya, koneksi digital tak selalu berarti kedekatan emosional. Banyak remaja merasa kesepian, meski dikelilingi notifikasi. Dampak media sosial dengan interaksi yang dangkal ini kadang membuat mereka kehilangan ruang aman untuk benar-benar didengar.

3. Sensitif Terhadap Penilaian Sosial

Era digital memperkuat kecenderungan remaja untuk mencari validasi dari luar. Jumlah likes, followers, atau komentar bisa memengaruhi suasana hati dan rasa percaya diri. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap cyber bullying di media sosial dan tekanan untuk tampil “sempurna”, baik secara fisik maupun citra diri.

4. Egosentris Tapi Ingin Diakui

Remaja sering kali memusatkan perhatian pada diri sendiri, bukan karena egois, tapi karena mereka sedang membangun identitas. Di sisi lain, mereka juga ingin dianggap penting, punya suara, dan diakui perannya. Inilah masa ketika mereka ingin bicara tentang isu sosial, lingkungan, bahkan politik, dengan cara mereka sendiri.

5. Cepat Beradaptasi, Tapi Mudah Terdistraksi

Terbiasa multitasking, remaja digital mahir berpindah antara aplikasi, tugas sekolah, dan hiburan. Namun, kecepatan ini juga membuat mereka mudah kehilangan fokus. Konsumsi konten instan menurunkan durasi perhatian. Dampak media sosial kadang juga menciptakan ilusi produktivitas padahal menguras waktu dan emosi.

Serial Netflix Adolescence adalah cermin tajam bagi orang dewasa, bahwa remaja hari ini adalah hasil dari keputusan kolektif kita kemarin. Tidak dapat dipungkiri, kita semua bertanggung jawab atas masa depan anak. Serial Adolescence mengajak kita merenung, sudahkah kita benar-benar hadir untuk mereka?