Guru dan Cyberbullying di Media Sosial dalam Budi Pekerti
Guru dan Cyberbullying
di Media Sosial
dalam Budi Pekerti
Tahun lalu, tepatnya pada 2 November 2023, tayang sebuah film yang sarat akan pesan moral dan dapat menjadi refleksi bersama, terutama pada dunia pendidikan. Film tersebut berjudul Budi Pekerti. Sebelum tayang di bioskop, film ini sudah mendapatkan 17 nominasi Piala Citra 2023. Selain itu, film Budi Pekerti tayang pertama kali di Toronto Film Festival serta masuk official selection SXSW Sydney 2023 Screen Festival.
Film ini mengambil premis tentang seorang guru yang dipertanyakan dedikasinya lantaran sebuah video viral berisikan percekcokan antara guru tersebut dengan orang lain di sebuah pasar. Viralnya video tersebut menimbulkan banyak sekali permasalahan yang tidak hanya menimpa sang guru, namun juga kedua anaknya.
Beban Berat Guru di Media Sosial
Mengambil latar di Yogyakarta saat pandemi beberapa tahun lalu, film ini menceritakan fenomena buruk dari budaya kita bermedia sosial. Bagaimana suatu peristiwa dibingkai, keluar dari konteks yang ada, dan diviralkan begitu saja sehingga melahirkan pemberitaan yang tidak sesuai kejadian, dan tidak sedikit yang sampai menghancurkan kehidupan sang korban.
Ialah Ibu Prani (Sha Ine Febriyanti), seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di sebuah SMP. Beliau dikenal sebagai guru yang menyenangkan, tegas, serta melakukan pendekatan refleksi kepada murid-muridnya yang bermasalah alih-alih menghukum mereka.
Namun di balik itu semua, Ibu Prani memiliki banyak sekali permasalahan. Suaminya, Didit Wibowo (Dwi Sasono) memiliki masalah kejiawaan yang mengarah bipolar karena usahanya yang bangkrut lantaran pandemi. Uang mereka pun banyak terkuras untuk biaya pengobatan sang suami.
Konflik semakin memanas saat Ibu Prani menegur seseorang yang menyerobot antrean kue putu Mbok Rahayu yang terkenal. Orang tersebut tidak terima sehingga terjadilah perselisihan. Kejadian tersebut direkam oleh pembeli yang lain, kemudian diunggah. Celakanya, bagian yang menjadi viral adalah ketika Ibu Prani mengucapkan “Ah suwi,” yang artinya “ah lama”. Tapi, karena diucap dengan cepat, kata tersebut terdengar seperti “asu..i” yang dalam bahasa Jawa berarti “anjing”.
Keesokannya, video terebut viral. Tidak hanya itu, meme dan video parodi pun banyak ditemukan dengan menghujat Ibu Prani, menyudutkannya dan menganggap ia tidak layak menjadi seorang guru. Banyak netizen beranggapan, seorang guru itu digugu dan ditiru, sehingga guru seperti itu dianggap akan membawa pengaruh buruk untuk siswa-siswanya.
Dedikasi dan nama baik Ibu Prani sebagai guru selama bertahun-tahun pun rusak karena anggapan miring tersebut, bahkan karirnya pun terancam. Kedua anaknya, Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda) turut terkena dampak dari video tersebut. Mereka terus dihakimi dan dicari-cari kesalahannya oleh masyarakat luas.
Fenomena Cyberbullying
Istilah bullying tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bullying merupakan bentuk intimidasi seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang biasanya dinilai lebih lemah atau berbeda diantara individu lainnya. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik ataupun verbal. Dewasa ini, bullying di media sosial atau cyberbullying pun semakin marak kita temukan.
Di era digital ini, framing sering kali disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Sejatinya dalam dunia jurnalistik, framing adalah pendefinisian suatu peristiwa dengan menggunakan sudut pandang wartawan ketika menyeleksi suatu isu atau kejadian.
Framing di media sosial saat ini sering kali berisikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan dilebih-lebihkan di beberapa bagian guna menarik pengunjung ke akun tertentu. Hal ini dilatarbelakangi untuk mencari popularitas, mendatangkan banyak pengunjung supaya pendapatan iklan (adsense) tinggi, atau sekedar memberikan ujaran kebencian terhadap orang yang tidak disuka.
Menurut Wregas, cyberbullying semakin banyak terjadi di sekitar kita. Tak jarang video tentang aksi bullying viral di media sosial. “Di film ini kita mencoba merenungkan apakah selama ini penyikapan terhadap keviralan itu adalah hal yang harus dikaji dan didiskusikan ulang agar bisa membuat kehidupan yang lebih baik,” papar Wregas Bhanuteja.
Cyberbullying dinilai memiliki dampak yang lebih mendalam bagi korban. Karena informasi yang dikemas lalu diunggah ke dunia maya akan lebih cepat tersebar dan hujatan akan datang dari mana saja. Karena netizen yang menangkap peristiwa tersebut sebagian besar terprovokasi dan mengikuti sudut pandang dari si pembuat konten.
Hal ini menyebabkan kondisi mental korban pun ikut terganggu. Komentar negatif akan terus berdatangan dari dunia maya, sehingga korban tidak hanya dikucilkan oleh lingkungan sekitarnya, tapi juga bisa merembet ke anggota keluarga yang lain, serta karirnya.
Peran Guru dalam Membentuk Budi Pekerti
Sutradara Film Budi Pekerti, Wregas Bhanuteja, mempersembahkan karya ini kepada guru-guru di Indonesia atas jasa mereka dalam mendidik generasi penerus bangsa. Film ini menggambarkan bahwa selain orang tua, guru memiliki peran yang penting dalam pengembangan kualitas dan karakter anak. Di film ini, peran guru BK memiliki porsi yang sangat besar dalam membentuk budi pekerti.
Representatif peran guru BK dalam film “Budi Pekerti” sangat relevan dengan konteks pendidikan di Indonesia saat ini. Hasil dari beberapa studi menunjukkan bahwasanya hukuman tidak efektif dalam mengubah perilaku siswa secara jangka panjang. Namun, pendekatan yang melibatkan dialog dan refleksi bersama siswa terbukti lebih manjur dalam membimbing siswa bermasalah (Brown, 2007; Osher et al., 2010).
Sayangnya, pemberian hukuman atau punishment masih sering dijumpai di sekolah-sekolah Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pendekatan guru dalam menangani siswa bermasalah haruslah diubah. Dan ini tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab guru. Namun, guru BK dipandang memiliki porsi yang lebih besar untuk mewujudkan perubahan pendekatan tersebut. Kendati demikian, saat ini peran guru BK masih belum optimal, karena masih berfokus pada urusan administratif.
Seperti yang diceritakan dalam film, guru BK seperti Ibu Prani dapat menjadi fasilitator bagi siswa bermasalah dalam melakukan refleksi serta introspeksi diri. Interaksi yang dilakukan penuh rasa empati dan bijaksana sehingga menyentuh siswa untuk sadar dan termotivasi mengubah perilakunya.
Pada dasarnya Guru BK dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan sosial dan psikologis anak di dalam lingkup sekolah. Karena tentunya pendidikan tidaklah cukup kalau hanya dibekali materi pembelajaran saja. Pendidikan karakter harus tumbuh dengan baik untuk semua peserta didik agar mereka memiliki budi pekerti yang luhur. Inilah yang mendasari kenapa tugas dan tanggung jawab guru BK di sekolah sangatlah penting.
Pentingnya Empati Terhadap Guru
Melalui film ini, kita belajar bahwa semua yang terlihat dan terekam di kamera, bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan. Sang sutradara, Wregas ingin penonton dapat mencerna suatu masalah dengan kepala dingin, tanpa menghakimi pelaku maupun korban. Karena satu kesalahpahaman dapat menimbulkan efek yang meluas, dan ini dapat dihindari jika kita menelaahnya dengan kepala dingin.
Film budi pekerti juga memperlihatkan bahwa perubahan tidak selalu datang dengan mudah, diperlukan usaha serta kesadaran diri untuk menyelesaikannya. Dan yang terakhir, film ini mendorong penonton untuk lebih peduli, berempati, dan bertanggung jawab terhadap segala peristiwa atau kejadian yang terjadi.