9 Ciri-ciri Generasi Digital Native

11 Maret 2025|Artikel|Bagikan :

Digital native adalah generasi yang tumbuh di era teknologi digital dan internet. Istilah ini diperkenalkan oleh Marc Prensky pada 2001 untuk menggambarkan individu yang sejak kecil terbiasa menggunakan komputer, internet, dan perangkat digital lainnya.

Menurut Prensky, digital native mengalami perubahan mendasar dalam cara berpikir dan berinteraksi. Generasi digital native tidak mengalami transisi dari dunia analog ke digital, melainkan langsung beradaptasi dengan ekosistem teknologi sejak lahir. 

Selain memengaruhi gaya hidup, terdapat pula perbedaan dalam pola belajar dan komunikasi. Mereka juga mengandalkan komputer, media sosial, dan pesan instan sebagai sarana utama komunikasi dan pembelajaran.

Studi menunjukkan bahwa rata-rata lulusan perguruan tinggi telah menghabiskan lebih dari 10.000 jam bermain video game dan 20.000 jam menonton televisi, tetapi kurang dari 5.000 jam membaca. Ini membuktikan bahwa digital native lebih banyak menghabiskan waktu dengan teknologi dibandingkan membaca buku cetak.

Kemunculan generasi digital native juga memicu kesenjangan keterampilan digital antara mereka dan generasi sebelumnya yang disebut digital immigrant. Digital immigrant adalah individu yang lahir sebelum era digital tetapi kemudian beradaptasi dengan teknologi.

Anak-anak dan remaja yang tumbuh dengan teknologi memiliki pemahaman intuitif terhadap perangkat digital. Sementara orang dewasa yang tidak mengalami hal serupa sejak kecil perlu beradaptasi lebih keras. 

Perbedaan ini tentunya dapat memengaruhi pola komunikasi, serta dinamika sosial dan ekonomi di era digital. Oleh karena itu, memahami apa itu digital native dan ciri-ciri digital native sangat penting untuk membantu menganalisis dampaknya terhadap komunikasi, sosial, dan ekonomi.

Berdasarkan penelusuran dari Observerid, berikut ciri-ciri digital native yang mencerminkan bagaimana mereka tumbuh di dunia digital:

1. Terbiasa dengan Konektivitas Tanpa Batas

Digital native memiliki ketergantungan tinggi terhadap koneksi internet dan perangkat seluler. Mereka mengandalkan teknologi ini untuk berkomunikasi, mengakses informasi, mengelola keuangan, hingga menyusun jadwal keseharian mereka (Hofer, 2018). 

Keberadaan jaringan yang stabil dan akses data tanpa batas menjadi kebutuhan utama, sebagaimana diungkapkan oleh Gkioulous et al. (2017) dan Shrivastava (2017). Perkembangan industri telekomunikasi terus beradaptasi dengan meningkatnya permintaan akan konektivitas yang selalu aktif.

generasi digital native memiliki berbagai ciri, simak di sini

2. Memiliki Gaya Hidup yang Sangat Dipengaruhi Teknologi

Kehadiran media sosial memainkan peran penting dalam membangun identitas dan gaya hidup mereka, sebagaimana dikemukakan oleh Po-Hong Shih et al. (2018). Digital native lebih memilih berbelanja online, melakukan transaksi digital, serta mengonsumsi hiburan melalui platform streaming daripada metode konvensional. 

Perkembangan teknologi digital tidak hanya mempermudah akses informasi, tetapi juga membentuk cara berpikir, berinteraksi, dan menjalani kehidupan sehari-hari (Shrivastava, 2017). Itulah sebabnya gaya hidup generasi digital native sangat dipengaruhi teknologi.

3. Terampil Menggunakan Berbagai Perangkat Digital

Berbeda dengan digital immigrants yang harus beradaptasi dengan teknologi baru, digital native sejak kecil telah terbiasa menggunakan berbagai perangkat digital, mulai dari komputer, smartphone, hingga perangkat wearable

Mereka tidak hanya mahir dalam penggunaan aplikasi dan perangkat lunak, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berpindah dari satu platform ke platform lain dengan cepat dan efisien (Chaves et al., 2016; Zarenejad, 2018).

4. Lebih Aktif Berinteraksi Melalui Media Sosial

Bagi digital native, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga ruang untuk berekspresi, membangun jaringan, dan bahkan mempengaruhi opini publik. Mereka lebih cenderung mengandalkan media sosial dalam menyuarakan pendapat dan berpartisipasi dalam isu sosial dibandingkan generasi sebelumnya (Núñez-Gómez et al., 2012). Hal ini juga membuat mereka lebih responsif terhadap tren yang berkembang secara real-time.

5. Cenderung Mempercayai Informasi Digital Tanpa Verifikasi yang Mendalam

Meskipun memiliki akses luas terhadap informasi, digital native sering kali kurang kritis dalam mengevaluasi kredibilitas sumber berita. Mereka lebih percaya pada informasi yang disebarkan oleh influencer atau digital patron, tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut (Po-Hong Shih et al., 2018). 

Studi Rahmawati et al. (2019) menunjukkan bahwa banyak digital native yang mengalami bias kognitif akibat konsumsi informasi yang tidak seimbang, terutama dalam memahami berita hoaks. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi generasi ini untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap hoax dan misinformasi.

6. Mengalami Pengaruh Emosional dari Konsumsi Digital

Digital native cenderung membangun pemahaman terhadap suatu informasi berdasarkan pengalaman emosional mereka saat berinteraksi dengan media digital. Hal ini membuat mereka rentan terhadap manipulasi emosi dalam penyebaran berita palsu atau propaganda digital (Rahmawati et al., 2019). 

Mereka sering kali bereaksi secara instingtif terhadap informasi yang mereka baca, tanpa mempertimbangkan analisis rasional yang lebih dalam. Bahkan, kondisi tersebut dapat menular dengan cepat antara satu komunitas ke komunitas lainnya.

generasi digital native memiliki berbagai keunggulan, di antaranya sangat mudah menggunakan teknologi

7. Terbiasa dengan Pola Belajar yang Interaktif dan Cepat

Proses belajar generasi ini lebih mengandalkan sumber digital, seperti video tutorial, e-learning, atau diskusi daring. Mereka cenderung kurang sabar terhadap metode pembelajaran konvensional yang mengandalkan buku teks atau ceramah panjang (Kesterson, 2015). 

Pola belajar digital native lebih dinamis dan fleksibel. Mereka dapat mencari dan mengakses informasi sesuai kebutuhan tanpa harus terpaku pada satu sumber tertentu. Ini memungkinkan mereka mendapatkan sumber pembelajaran yang lebih kaya dan dari sudut pandang berbeda.

8. Menghadapi Tantangan dalam Menjadi Agen Perubahan Sosial

Meskipun digital native memiliki akses luas terhadap informasi, mereka sering menghadapi kendala dalam mengimplementasikan perubahan sosial yang nyata. Studi Rahmawati et al. (2019) menemukan bahwa digital native merasa kesulitan dalam mengedukasi digital immigrants terkait literasi digital, terutama dalam mengatasi hoaks. 

Perbedaan perspektif antara kedua generasi sering kali menjadi hambatan dalam membangun pemahaman bersama. Ditambah lagi dengan masih adanya stigma bahwa orang yang lebih tua tidak boleh didebat. 

9. Mengandalkan Digital Patron dalam Pengambilan Keputusan

Dalam dunia digital, digital native tidak selalu melakukan riset mendalam terhadap informasi yang mereka konsumsi. Mereka lebih cenderung bergantung pada “digital patron” atau figur publik yang dianggap kredibel untuk mendapatkan informasi yang mereka anggap valid (Suwana, 2019). 

Pola ini menunjukkan bahwa meskipun mereka mahir dalam penggunaan teknologi, mereka belum tentu memiliki tingkat literasi digital yang optimal dalam menyaring informasi yang benar dan relevan. Tentunya ini perlu diimbangi dengan pemahaman yang tepat dalam memverifikasi setiap informasi.

Tumbuhnya generasi digital native menuntut kita untuk tidak hanya memahami karakteristiknya, tetapi juga membangun jembatan komunikasi yang lebih efektif antara generasi. Perbedaan pola pikir dan cara beradaptasi dengan teknologi sering kali menciptakan kesenjangan pemahaman, terutama antara digital native dan digital immigrant. 

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam literasi digital, di mana generasi yang lebih tua tidak sekadar menganggap teknologi sebagai sesuatu yang asing, dan generasi yang lebih muda tidak merasa superior dalam mengakses informasi. Edukasi yang berkelanjutan serta keterbukaan dalam menerima perspektif baru adalah kunci untuk membangun ekosistem digital yang lebih sehat dan harmonis.

Selain itu, penting bagi kita untuk membiarkan digital native berkembang sendiri dalam arus teknologi yang terus berubah. Kita perlu membimbing mereka agar tidak sekadar menjadi konsumen pasif, tetapi juga mampu memanfaatkan teknologi secara kritis dan produktif. 

Dunia digital bukan hanya tempat untuk mengonsumsi informasi, tetapi juga ruang untuk berkontribusi secara positif dalam membangun masyarakat yang lebih maju. Kolaborasi lintas generasi dalam memahami etika digital, berpikir kritis terhadap informasi, serta membentuk kesadaran sosial di dunia maya akan menciptakan keseimbangan yang lebih baik dalam era digital ini.